Tak Putus Dirundung Malang 「1. Dari Rimba Durian」 Part 1
Malam gelap gulita di hulu sungai Ketahun . . . . .
Seperti tak menaruh iba kasihan angin yang kuat mengadu pohon-pohon durian yang besar-besar dan berpuluh-puluh tahun umurnya. Deru-deru dan derak-derak yang memenuhi rimba belukar itu tiadalah ubahnya dengan tempik sorak dan ratap tangis orang di tengah peperangan. Bunyi durian jatuh ke tanah tak putus-putusnya dan hampir menyamai letusan meriam di medan perjuangan.
Sebentar-sebentar hiruk pikuk yang tiada berketentuan itu menjadi satu dengan gegap gempita yang mendahsyatkan dan mengecilkan hati alamat seorang raja rimba alah, jatuh ke tanah untuk selama-lamanya, menarik apa yang dapat ditariknya dan menimpa apa yang di bawahnya, laksana hendak membalaskan dendam dan panas hatinya.
Ramai peperangan di rimba itu dan rupanya tak akan berhenti-henti. Tak ada kasihan-mengasihani, yang rebah tinggal rebah, tak ada yang akan mengangkatnya.
Rumput-rumput dan rimba api-api di bawah pohon yang besar-besar itu, basah lecap oleh hujan yang sebagai air mata raksasa belukar itu bercucuran ke bawah.
Sekali-sekali terang cuaca hutan belantara itu, seperti diserang oleh api, tetapi dengan sekejap mata juga hilanglah sekalian cahaya yang berani menyerbukan dirinya di tengah peperangan itu, dimusnahkan oleh musuh lamanya "raja gulita" dan bunyi guruh di langit sesudah lenyap kilat itu taklah bedanya dengan tempik sorak kemenangan bala tentara "Gulita".
Di tengah-tengah rimba durian, yang kusut masai oleh angin yang kuat itu, berdiri sebuah pondok, di tempat yang lapang. Tiangnya tinggi-tinggi, rupanya supaya jangan dapat dinaiki oleh binatang buas.
Di dalam rumah kecil itu menyala sebuah pelita minyak tanah, yang sebentar-sebentar hampir-hampir padam diembus oleh angin yang dapat masuk dari celah-celah dinding kulit kayu itu.
Di sudut dekat pintu, duduk seorang laki-laki, Syahbuddin, yang empunya pondok itu bersandar di dinding termenung.
Pakaiannya, celana pendek dan baju kaus, yang telah koyak-koyak melukiskan kemiskinan dan kemelaratan yang sehari-hari dideritanya. Pada dadanya yang bidang dan berisi dan pada lengannya yang kukuh, penuh urat dan tidak ditutup oleh baju kausnya, dapat dilihat keberatan pekerjaannya sehari-hari.
Air mukanya yang keruh, pipinya yang kempis dan matanya yang cekung menyatakan, bahwa jalan hidup yang telah ditempuhnya penuh dengan onak, ranjau dan duri, banyak mendaki-menurun.
Ya, sebenarnya, ia masuk bahagian manusia, yang meskipun selalu mencari dan berikhtiar dengan sepenuh-penuh hatinya, tiada juga berbahagia, bahagian manusia, yang meskipun selalu mengerjakan pekerjaannya dengan awas dan teliti, berulang-ulang dikunjungi oleh malapetaka.
Banyak benar selisih hidupnya dengan manusia yang seolah-olah diturut oleh kekayaan dan kemujuran, dengan manusia yang dengan usaha sedikit dapat mendirikan gedung batu, mengumpulkan beratus-ratus harta benda.
Tetapi Syahbuddin menerima nasibnya dengan tulus dan ikhlas, tak menaruh dengki dan khianat, sebab ia tahu bahwa sekaliannya itu kehendak Allah yang mahakuasa.
Bukanlah sekalian perbuatan Allah itu penuh rahmat dan kemurahan!
Telah enam tahun lamanya ia mengembara dari dusun ke dusun untuk mencari nafkahnya tiga beranak, sejak rumahnya dimusnahkan oleh api, rumah yang didirikannya dengan tulang dan keringatnya sendiri dan sejak isterinya, belahan dadanya, berpulang ke rahmatullah oleh sebab kesusahan, meninggalkan dua orang anak, yang masih perlu asuhan ibu. Siapa yang melihatnya sekarang di dalam pondok buruk itu takkan menyangka, bahwa umurnya baharu tiga puluh lima tahun. Rambutnya telah mulai keputih-putihan dan mukanya di sana-sini telah berkerut-kerut.
Dalam enam tahun, sejak perceraian dengan isterinya, berlipat ganda terasa olehnya berat beban hidup mengimpit dirinya, sehingga kadang-kadang ia hampir-hampir putus asa dan meminta kepada Tuhan, supaya ia dapat menuruti isterinya ke negeri yang baka.
Tetapi biasanya jeling salah seorang dari anaknya cukuplah akan mengeraskan hatinya melawan kesengsaraan dan kesusahannya.
Kedua anaknya itu seolah-olah pelita baginya di tengah gelap gulita, sampan di tengah lautan besar.
Seperti tak menaruh iba kasihan angin yang kuat mengadu pohon-pohon durian yang besar-besar dan berpuluh-puluh tahun umurnya. Deru-deru dan derak-derak yang memenuhi rimba belukar itu tiadalah ubahnya dengan tempik sorak dan ratap tangis orang di tengah peperangan. Bunyi durian jatuh ke tanah tak putus-putusnya dan hampir menyamai letusan meriam di medan perjuangan.
Sebentar-sebentar hiruk pikuk yang tiada berketentuan itu menjadi satu dengan gegap gempita yang mendahsyatkan dan mengecilkan hati alamat seorang raja rimba alah, jatuh ke tanah untuk selama-lamanya, menarik apa yang dapat ditariknya dan menimpa apa yang di bawahnya, laksana hendak membalaskan dendam dan panas hatinya.
Ramai peperangan di rimba itu dan rupanya tak akan berhenti-henti. Tak ada kasihan-mengasihani, yang rebah tinggal rebah, tak ada yang akan mengangkatnya.
Rumput-rumput dan rimba api-api di bawah pohon yang besar-besar itu, basah lecap oleh hujan yang sebagai air mata raksasa belukar itu bercucuran ke bawah.
Sekali-sekali terang cuaca hutan belantara itu, seperti diserang oleh api, tetapi dengan sekejap mata juga hilanglah sekalian cahaya yang berani menyerbukan dirinya di tengah peperangan itu, dimusnahkan oleh musuh lamanya "raja gulita" dan bunyi guruh di langit sesudah lenyap kilat itu taklah bedanya dengan tempik sorak kemenangan bala tentara "Gulita".
Di tengah-tengah rimba durian, yang kusut masai oleh angin yang kuat itu, berdiri sebuah pondok, di tempat yang lapang. Tiangnya tinggi-tinggi, rupanya supaya jangan dapat dinaiki oleh binatang buas.
Di dalam rumah kecil itu menyala sebuah pelita minyak tanah, yang sebentar-sebentar hampir-hampir padam diembus oleh angin yang dapat masuk dari celah-celah dinding kulit kayu itu.
Di sudut dekat pintu, duduk seorang laki-laki, Syahbuddin, yang empunya pondok itu bersandar di dinding termenung.
Pakaiannya, celana pendek dan baju kaus, yang telah koyak-koyak melukiskan kemiskinan dan kemelaratan yang sehari-hari dideritanya. Pada dadanya yang bidang dan berisi dan pada lengannya yang kukuh, penuh urat dan tidak ditutup oleh baju kausnya, dapat dilihat keberatan pekerjaannya sehari-hari.
Air mukanya yang keruh, pipinya yang kempis dan matanya yang cekung menyatakan, bahwa jalan hidup yang telah ditempuhnya penuh dengan onak, ranjau dan duri, banyak mendaki-menurun.
Ya, sebenarnya, ia masuk bahagian manusia, yang meskipun selalu mencari dan berikhtiar dengan sepenuh-penuh hatinya, tiada juga berbahagia, bahagian manusia, yang meskipun selalu mengerjakan pekerjaannya dengan awas dan teliti, berulang-ulang dikunjungi oleh malapetaka.
Banyak benar selisih hidupnya dengan manusia yang seolah-olah diturut oleh kekayaan dan kemujuran, dengan manusia yang dengan usaha sedikit dapat mendirikan gedung batu, mengumpulkan beratus-ratus harta benda.
Tetapi Syahbuddin menerima nasibnya dengan tulus dan ikhlas, tak menaruh dengki dan khianat, sebab ia tahu bahwa sekaliannya itu kehendak Allah yang mahakuasa.
Bukanlah sekalian perbuatan Allah itu penuh rahmat dan kemurahan!
Telah enam tahun lamanya ia mengembara dari dusun ke dusun untuk mencari nafkahnya tiga beranak, sejak rumahnya dimusnahkan oleh api, rumah yang didirikannya dengan tulang dan keringatnya sendiri dan sejak isterinya, belahan dadanya, berpulang ke rahmatullah oleh sebab kesusahan, meninggalkan dua orang anak, yang masih perlu asuhan ibu. Siapa yang melihatnya sekarang di dalam pondok buruk itu takkan menyangka, bahwa umurnya baharu tiga puluh lima tahun. Rambutnya telah mulai keputih-putihan dan mukanya di sana-sini telah berkerut-kerut.
Dalam enam tahun, sejak perceraian dengan isterinya, berlipat ganda terasa olehnya berat beban hidup mengimpit dirinya, sehingga kadang-kadang ia hampir-hampir putus asa dan meminta kepada Tuhan, supaya ia dapat menuruti isterinya ke negeri yang baka.
Tetapi biasanya jeling salah seorang dari anaknya cukuplah akan mengeraskan hatinya melawan kesengsaraan dan kesusahannya.
Kedua anaknya itu seolah-olah pelita baginya di tengah gelap gulita, sampan di tengah lautan besar.
~Bersambung~
Komentar
Posting Komentar