Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Gizi

Gambar
          Ia baru saja lulus dari Fakultas Kedokteran, dan berhasil meraih gelar (kesarjanaan penuh sebagai) dokter. Jadi dokter tentulah merupakan idaman bagi hampir setiap orang muda sebayanya. Lebih-lebih di zaman ketika gelar-gelar kesarjanaan menjadi tujuan akhir dan puncak cita-cita dan seakan-akan menawarkan jaminan yang meyakinkan untuk menikmati kenyamanan-kenyamanan dalam hidup ini serta kemudahan-kemudahan dalam hampir segala hal bagi mereka yang memilikinya.           Terus terang, selain desakan kedua orang-tuanya yang ambisius, memang ada keinginannya yang sangat ke arah itu. Gelar dokter yang mentereng, duit dari hasil praktek yang lumayan, seorang istri yang cantik mulus, anak-anak yang mungil, mobil mewah, dan sebuah vila kencana, semua itu adalah daya tarik yang semula memang menggiringnya ke jurusan itu, jurusan yang memang paling laris pada perguruan-perguruan tinggi kita dewasa ini.           Tapi, sungguh tidak dinyana zaman romantika gelar-gelar kesarjana

Kursi Antik

Gambar
          Perempuan yang datang menemuiku pada pagi-pagi dini hari itu langsung menyebutkan namaku, lalu bertanya, "Bapak yang suka kumpul-kumpul barang-barang antik?"           "Yoah...," sahutku sambil menguap panjang. Lalu katanya pula, "Aku punya sebuah kursi antik...."           Sejenak aku tertegun, tidak yakin tentang apa yang dikatakannya, lebih-lebih melihat keadaannya. Kuperhatikan perempuan itu hampir setengah menyelidik, dari ujung rambut sampai ke tumitnya.           Perawakannya kurus kerempeng, terbungkus dalam gaun usang yang kumal dan lusuh. Ia masih muda, barangkali belum lagi dua puluh tahun, tapi tampak serupa perempuan separo baya. Wajahnya pasi kepucat-pucatan dan kedua belah matanya yang sayu seolah-olah tersembunyi dalam luangan di atas pipinya yang cekung, sedang pada pelipisnya jelas tampak beberapa garis-garis derita yang tajam menggores. Kaki-kakinya yang kotor berdebu itu mengapit sepasang sandal jepit.           &q

Telegram Kepada Abu Nawas

Gambar
          Dua orang laki-laki separo baya yang kepalanya sama-sama beruban, duduk di sebuah warung di pinggir jalan, menghadapi cangkir kopi masing-masing. Laki-laki yang berbaju batik duduk di ujung sebelah kiri bangku panjang dan yang berkemeja putih duduk di ujung sebelah kanan. Sejak tadi laki-laki itu berdiam diri sambil sesekali menghirup kopinya. Keduanya jelas tidak saling mengenal satu sama lain, karena mereka tidak saling menyapa. Sesekali mereka saling memandang, tetapi segera menunduk kembali, seolah-olah sama-sama enggan untuk memulai bicara.           Tapi, tidak lama kemudian, laki-laki yang berkemeja putih agaknya sudah merasa bosan berdiam diri, lidahnya terasa gatal-gatal ingin bicara. Setelah mendehem-dehem ia mulai membuka suara, "Maaf, Pak," katanya. "Kalau tak salah, saya sering melihat anda ke kompleks perumahan Bulbul. Malah kita sering satu kendaraan...."           "Benar, saya pun sering melihat anda," sahut laki-laki berb

Kipas Angin

Gambar
          Cerita tentang sebuah kipas angin tentu kurang menarik. Lebih-lebih nanti bisa dianggap iklan yang mempromosikan perlu adanya kipas angin di setiap rumah penduduk di negeri-negeri tropis. Terutama, di kota-kota yang panas dan padat penduduknya. Tapi, kipas angin yang satu ini memang lain daripada yang lain, justru karena benda hasil teknologi itu kebetulan ada hubungan emosional dengan kehidupan seorang pelukis.           Pelukis kita ini tentulah bukan pelukis top yang mampu menghasilkan uang dalam jumlah besar dari hasil karyanya. Ia hanya pelukis biasa saja yang baru dikenal di seputar kotanya. Sungguhpun demikian, lukisan-lukisannya tidak jelek, malah tergolong sebagai karya-karya yang bermutu juga. Sekali waktu pada hari yang baik pelukis kita ini berhasil menjual sebuah lukisannya. Itu merupakan suatu peristiwa luar biasa. Bagi seorang pelukis seperti dia, menjual sebuah lukisan bukan pekerjaan mudah, tapi suatu usaha yang memerlukan ketabahan, keuletan, dan ker

Dusun Di Lembah Sunyi

Gambar
  Langit teduh kebiruan memayungi dusun kecil terpencil di lembah sunyi itu. Siang hari matahari bersinar cerah menembus celah-celah rimbun dedaunan dan di malam hari para penghuni dusun yang jarang itu senang terlelap dan terayun dalam mimpi-mimpi buah tomat yang menjadi ranum, tentang sarang lebah, dan udara berbau rumput. Demikian sejuk angin yang berhembus dari bukit-bukit yang mengelilingi dusun itu hingga di siang hari pun mereka sering bermimpi tentang hal-hal yang indah dan mengasyikkan. Malahan menjadi kebiasaan mereka menganggap impian sebagai pertanda yang menentukan dalam hidup ini. Mereka turun ke ladang berdasarkan impian. Pagi memancing atau mencari jodoh atau bahkan ada yang mengadu untung sebagai maling dan semua mereka lakukan berdasarkan impian.   Tetapi, tiba-tiba pada suatu saat menjelang ashar, dusun mungil itu seola-olah berubah menjadi kancah huru-hara. Meledak dalam gejolak hingar-bingar. Kegemparan menjalar laksana ular raksasa merayap melingkar-lingkar

Tak Putus Dirundung Malang 「1. Dari Rimba Durian」 Part 1

Gambar
        Malam gelap gulita di hulu sungai Ketahun . . . . .   Seperti tak menaruh iba kasihan angin yang kuat mengadu pohon-pohon durian yang besar-besar dan berpuluh-puluh tahun umurnya. Deru-deru dan derak-derak yang memenuhi rimba belukar itu tiadalah ubahnya dengan tempik sorak dan ratap tangis orang di tengah peperangan. Bunyi durian jatuh ke tanah tak putus-putusnya dan hampir menyamai letusan meriam di medan perjuangan.   Sebentar-sebentar hiruk pikuk yang tiada berketentuan itu menjadi satu dengan gegap gempita yang mendahsyatkan dan mengecilkan hati alamat seorang raja rimba alah, jatuh ke tanah untuk selama-lamanya, menarik apa yang dapat ditariknya dan menimpa apa yang di bawahnya, laksana hendak membalaskan dendam dan panas hatinya.   Ramai peperangan di rimba itu dan rupanya tak akan berhenti-henti. Tak ada kasihan-mengasihani, yang rebah tinggal rebah, tak ada yang akan mengangkatnya.   Rumput-rumput dan rimba api-api di bawah pohon yang besar-besar itu, basah leca