Telegram Kepada Abu Nawas


          Dua orang laki-laki separo baya yang kepalanya sama-sama beruban, duduk di sebuah warung di pinggir jalan, menghadapi cangkir kopi masing-masing. Laki-laki yang berbaju batik duduk di ujung sebelah kiri bangku panjang dan yang berkemeja putih duduk di ujung sebelah kanan. Sejak tadi laki-laki itu berdiam diri sambil sesekali menghirup kopinya. Keduanya jelas tidak saling mengenal satu sama lain, karena mereka tidak saling menyapa. Sesekali mereka saling memandang, tetapi segera menunduk kembali, seolah-olah sama-sama enggan untuk memulai bicara.

          Tapi, tidak lama kemudian, laki-laki yang berkemeja putih agaknya sudah merasa bosan berdiam diri, lidahnya terasa gatal-gatal ingin bicara. Setelah mendehem-dehem ia mulai membuka suara, "Maaf, Pak," katanya. "Kalau tak salah, saya sering melihat anda ke kompleks perumahan Bulbul. Malah kita sering satu kendaraan...."

          "Benar, saya pun sering melihat anda," sahut laki-laki berbaju batik. "Saya memang tinggal disana...."

          "Lho, kalau begitu kita ini bertetangga," kata laki-kaki berkemeja putih.

          "Jadi, anda juga warga kompleks perumahan Bulbul?" tanya si baju batik.

          "Betul," jawab si kemeja putih. "Saya di Blok A atas."

           Serempak keduanya lalu berdiri, mengangkat cangkir masing-masing, lalu meletakkan kembali di atas meja di hadapan mereka, sudah itu mereka pun duduk bersebelahan.

          "Saya Tukijo, tinggal di blok utara." Si baju batik memperkenalkan diri.

          "Saya Maskun," balas si kemeja putih. "Tadi sudah saya katakan, saya tinggal di blok atas."

          "Blok atas?" ucap Tukijo bernada kaget. "Konon di blok atas sulit air...."

          "Tidak salah," sahut Maskun, "di blok atas nilai air hampir sama dengan emas. Semenjak saya tinggal disana beberapa tahun yang lalu sampai saat ini, air belum pernah menetes, meskipun di setiap rumah sudah terpasang alat meteran air."

          "Lantas, dari mana anda mendapat air?" tanya Tukijo.

          "Dari mana lagi, ya terpaksa beli setiap hari. Sampai saya kurus begini kan lantaran diganyang air...," ujar Maskun emosional.

          "Kalau saya lain lagi halnya," tukas Tukijo. "Di blok saya air melimpah ruah, sangat berlebihan hingga tak tertampung...."

          "Wah, sungguh beruntung anda."

          "Beruntung?" sela Tukijo sambil memelototkan kedua belah matanya, "Malah buntung jadinya."

          "Lho, kok bisa begitu?"

          "Habis, air di blok kami sering melampaui batas kebutuhan kami. Lebih-lebih di musim hujan seperti sekarang ini.... Coba, tengok mendung yang berarak di atas itu...," kata Tukijo seraya menengadah ke atas.

          Di langit tampak awan gelap pekat bergumpal-gumpal sedang berarak ke penjuru selatan, ke wilayah kompleks perumahan Bulbul.

          "Sebentar lagi hujan akan turun," lanjut Tukijo. "Dan setiap kali hujan turun, berarti malapetaka bagi warga blok utara."

          "Mengapa begitu?" tanya Maskun.

          "Masa anda tidak pernah mendengar tentang malapetaka yang selalu melanda blok utara?" Tukijo balas bertanya.

          "Lihat mendung di atas sana itu," ujar Tukijo pula. "Sekarang ini, detik ini, seluruh warga blok utara mulai kalang kabut, sibuk gentayangan memindah-mindahkan perabot rumah tangga mereka untuk menyelamatkan dari gerogotan air yang bakal menggenangi rumah-rumah mereka."

          "Banjir?"

          "Bukan banjir. Banjir kan bencana alam, tetapi ini genangan air akibat suatu ketidakacuhan, ya semacam bencana tak dikenal, yang melanda blok utara kompleks perumahan Bulbul yang selalu digenangi air setinggi lutut, kadang-kadang malah lebih tinggi lagi, setiap musim hujan. Apa ini bukan malapetaka?"

          Maskun mengangguk-angguk, tidak berkomentar. "Setiap kali air menggenangi wilayah kami," kata Tukijo pula, "benar-benar kami tersiksa. Perabot rumah tangga kami jadi keropos, pada rusak dimakan air. Anak-anak tak bisa belajar. Ibu-ibu tak bisa menanak. Semua kegiatan sehari-hari jadi macet. Tak bisa ngaso, tak bisa tidur, karena setiap jengkal di rumah kami tergenang air dan baru beberapa hari kemudian air akan surut. Pendeknya, kami benar-benar menderita lahir batin karena ulah air itu...."

          "Sampai begitu parah...," ujar Maskun sedih.

          "Semua itu, justru karena dulu ketika dinding asbes rumah-rumah murahan itu ditancapkan di tanah wilayah itu, ditancapkan begitu saja, langsung sebelum dilakukan pengurukan terlebih dahulu. Mentang-mentang rumah murah, dibikin sembarangan saja...."

          Sejenak Tukijo terdiam, resah memandang ke langit di atas, lalu lanjutnya, "Tapi kalau direnungkan-renungkan tidaklah semurah seperti yang diduga. Sebab, selain setiap bulan kami harus mengangsurnya dengan uang tunai, juga kami bayar dengan derita dan air mata setiap musim hujan tiba."

          "Saya baru tahu sekarang kalau di salah satu daerah di kompleks perumahan Bulbul ada yang tidak beres," ujar Maskun dengan penuh penyesalan. "Kok tidak pernah diberitakan di koran-koran?"

          "Soal-soal sepele semacam ini mana mungkin mendapat tempat di koran...," tukas Tukijo dongkol.

          Si empunya warung yang sejak tadi menghilang tiba-tiba muncul di belakang meja. Kedua laki-laki itu bangkit, berebut untuk membayar kepada tukang warung. Akhirnya Maskun yang membayar. Sudah itu mereka berlalu dari situ, menuju ke terminal angkutan umum tak jauh dari tempat itu. Mereka lalu menaiki kendaraan yang sama, ke jurusan yang sama: Kompleks Perumahan Bulbul.


          Tiba di blok utara kompleks perumahan Bulbul. Tukijo memang terkepung oleh genangan air setinggi lutut. Hujan lebat turun sejak tadi. Ia melangkah terseok-seok mengarungi genangan air sambil mencincing celana dan menjinjing sandalnya. Sesekali ia dipergoki "gituan" yang banyak mengambang di sana-sini.

          Di depan sebuah rumah Tukijo sejenak tertegun. Dilihatnya Miskan, tetangganya nangkring di bendul jendela, persis burung kakaktua hinggap di jendela. Miskan kelihatan sangat murung. Tukijo teringat, tidakkah hari ini Miskan punya hajat mengawinkan anaknya?

          Tukijo menjengukkan kepala, melihat ke dalam rumah Miskan. Tampak kursi-kursi berantakan separo terendam dalam air, juga pelaminan tergenang air. Tak segelintir manusia pun yang tampak. Potongan janur dan kembang-kembang kertas timbul tenggelam di permukaan air.

          Beberapa kali Tukijo berseru memanggil Miskan. Tapi, Miskan tak menyahut. Menoleh pun tidak. Seolah-olah tidak didengarnya seruan Tukijo. Matanya nanap memandang kosong.

          Tukijo melanjutkan langkahnya, terseok-seok. Lagi-lagi ia dipergoki "gituan" di sana-sini.

          Tiba di rumahnya Tukijo tertegun di pintu, ketika istrinya menyambutnya dengan ucapan, "Jangan bengong di situ. Lekas pergi ke rumah Pak Kosim. Ia baru saja kesusahan...."

          "Pak Kosim? Kesusahan? mengapa?"

          "Bu Kosim meninggal."

          "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Kok tidak sabar menunggu sampai surut...."

          "Protes sama malaikat, Pak, agar lain kali kalau mau menunda tugas," celetuk anak sulungnya yang nongkrong di atas ranjang.

          "Hus, jangan ngomong yang bukan-bukan," kilah Tukijo. Dilihatnya anaknya yang bungsu menangis meronta-ronta. Dari gumamnya diketahuinya bahwa tas sekolahnya basah kuyup, karena ibunya lupa menyelamatkan dari genangan air.

          Kembali Tukijo teringat pada musibah yang menimpa keluarga Pak Kosim. Kalau Miskan, pikirnya boleh saja menunda hajatnya pada waktu lain, tetapi Pak Kosim tentu tak dapat berbuat apa-apa terhadap Malaikat Maut. Kepada istrinya Tukijo kemudian berkata, "Sekarang aku ke rumah Pak Kosim. Sudahkah kau pergi melayat ke sana?"

          "Baru saja, aku bersama rombongan ibu-ibu membawa beras ke sana," sahut istrinya yang repot membersihkan kompornya yang kemasukan air.

          Tukijo terseok-seok menuju ke rumah pak Kosim yang terletak di ujung kampung. Lagi-lagi Tukijo dipergoki "gituan" yang kadang-kadang sengaja menghadang jalannya.

          "Assalamualaikum" itulah yang pertama-tama diserukan Tukijo ketika melangkahi ambang pintu rumah pak Kosim. Di situ sudah banyak orang yang datang melayat, laki-laki dan perempuan, para tetangga, karib kerabat dekat dan jauh. Mereka berdiri di ruang tamu 3 × 3 meter yang digenangi air setinggi lutut.

          Jenazah bu Kosim dibaringkan di bale-bale yang terletak di atas ranjang susun, diselubungi kain panjang. Pak Kosim, pensiunan pegawai KUA, bersimpuh di sebelah kepala almarhumah sambil mendaras ayat-ayat suci Alquran.

          Rata-rata warga blok utara kompleks perumahan Bulbul hadir semua di rumah Pak Kosim. Dalam perkara seperti ini mereka memang kompak. Semuanya beringan tangan jika ada tetangga yang tertimpa musibah, mereka siap membantu hampir segala urusan yang perlu diselesaikan, seperti menyiapkan perlengkapan untuk mandi jenazah, menggunting kain kafan, menjemput keranda dari gudang sinoman, menyediakan nisan, dll.

          "Kapan akan dimakamkan?" tanya Tukijo pada seorang tua, kerabat dekat pak Kosim.

          "Segera setelah selesai disucikan, dikafani, dan disembahyangkan," sahut orang tua itu.

          "Disembahyangkan dimana?" tanya Tukijo.

          "Surau kita kini jelas terendam air. Terpaksa beberapa di antara kita akan menyembahyangkannya di atas ranjang itu," kata orang tua itu pula seraya menunjuk ranjang dimana Pak Kosim masih duduk bersimpuh.

          "Lantas kapan akan dibawa ke pemakaman?" lagi Tukijo bertanya.

          "Menurut syariat agama, sebaiknya jangan menunda-nunda waktu penguburan jenazah. Semakin cepat dikubur semakin afdol."

          Begitulah seperti yang dikatakan orang tua itu, setelah jenazah Bu Kosim disucikan dan dikafani, beberapa orang lalu menyembahyangkannya di atas ranjang. Kemudian, jenazah diletakkan dalam keranda. Keranda pun lalu diusung beramai-ramai dengan sangat hati-hati, karena mereka harus mengarungi genangan air setinggi lutut. Sungguhpun suasana serba darurat, namun jumlah para pengiring jenazah cukup banyak. Ini pun salah satu pertanda khas akan kekompakan warga blok utara kompleks perumahan Bulbul.



          Di ambang jalan masuk ke tanah pemakaman, mereka tertegun bimbang sesaat terlongo-longo memandang ke sekeliling tanah pemakaman yang rata digenangi air hingga nisan-nisan yang biasa tampak beracungan kini satu pun tak kelihatan, semuanya terbenam dalam air.

          Konon, sejak beberapa jam yang lalu, beberapa orang telah menggali lubang dan menguras air yang menggenanginya, tapi air mengalir terus, menyumber terus, sehingga liang selalu penuh air. Mereka akhirnya putus asa, kehilangan akal, tak tahu apa yang harus diperbuat. Bagaimana cara menguburkan mayat dalam liang penuh air? Mayat tentu akan timbul kembali ke permukaan, kecuali kalau mayat itu ditenggelamkan, ditekan ke dasar liang dan ditindih dengan benda berat. Tetapi, mereka tentu tak mau memperlakukan mayat seperti itu.

          Salah seorang pengiring bertanya kepada Pak Kosim yang sejak tadi berdiri linglung, "Bagaimana Pak, apa yang harus kita lakukan? Dalam keadaan seperti ini jelas tidak mungkin menguburkan jenazah. Apakah untuk sementara kita tunda saja upacara pemakaman menunggu sampai air surut. Mungkin besok, mungkin lusa, baru kita bisa menguburkannya...."

          Pak Kosim tetap bungkam. Menggigil sekujur persendiannya dalam genangan air di tanah pemakaman.

          Sekonyong-konyong terdengar suara lantang dari belakang kerumunan orang. "Tunggu!"

          Seorang laki-laki kurus kerempeng menyeruak maju ke depan. Itulah Miskan yang hari itu juga tertimpa musibah, karena hajat mengawinkan anaknya gagal berantakan gara-gara genangan air juga.

          "Saya punya akal," katanya terengah-engah.

          "Apa akal anda?" tanya satu suara.

          "Pemakaman terpaksa tidak bisa dilakukan sekarang. Harus ditunda untuk sementara. Tapi, besok insya Allah sudah bisa dikuburkan, meski tanah pemakaman masih digenangi air," ujar Miskan.

          "Bagaimana caranya?" tanya suara tadi.

          "Begini... Begini...," Miskan sebentar ragu-ragu, tapi kemudian katanya tegas dan jelas serta sungguh-sungguh, "Kita minta nasihat Abu Nawas."

          Maka terdengarlah tawa cekikikan anak-anak muda yang tak dapat menahan geli mendengar "banyolan" yang tak disangka-sangka.

          "Abu Nawas?" tanya suara lain, "Abu Nawas yang mana? Abu Nawas siapa?"

          "Siapa lagi," sahut Miskan tetap bersungguh-sungguh, "Abu Nawas, tokoh legendaris dongeng Seribu Satu Malam yang termahsyur. Masa anda tidak kenal dia?"

          "Apa anda serius?" tanya suara tadi, kini bernada sinis.

          "Eh, saya betul-betul serius. Abu Nawas tokoh jenius. Tahu serba segala. Raja-raja dan para pembesar negeri datang berbondong-bondong kepadanya minta nasihat untuk memecahkan berbagai masalah rumit. Baik soal duniawi maupun soal ukhrawi, soal bumi dan langit. Yang nyata dan yang gaib. Pendeknya, Abu Nawas tahu bagaimana mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi umat. Apalagi cuma soal sepele seperti yang kita hadapi ini."

          Lama mereka terdiam, seolah-olah tidak percaya pada pendengaran mereka. Ada orang, yaitu Miskan yang mereka kenal pendiam dan pemalu, hari ini bicara nyerocos tentang kejeniusan Abu Nawas, tokoh legendaris dongeng Seribu Satu Malam yang termasyhur itu, di tengah-tengah khalayak dalam genangan air di tanah pemakaman.

          "Tahukah anda dimana alamat Abu Nawas?" tanya salah seorang.

          "Pegawai kantor telegram pasti tahu alamatnya," sahut Miskan. "Segera saya akan mengetok kawat, mengirimkan telegram kilat kepada Abu Nawas."

          Miskan lalu melangkah terseok-seok meninggalkan tanah pemakaman. Diiringi oleh mata setiap hadirin yang sama tercengang-cengang serupa orang-orang yang terbius.

          Akhirnya jenazah yang malang itu tak jadi dikuburkan. Keranda diusung kembali ke rumah Pak Kosim. Gerimis merintih tak henti-hentinya, entah kapan kan mereda. Mereka menundukkan kepala, terbenam dalam duka yang dalam.

***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Papinka Terlengkap (Download Papinka Discography)