Kipas Angin



          Cerita tentang sebuah kipas angin tentu kurang menarik. Lebih-lebih nanti bisa dianggap iklan yang mempromosikan perlu adanya kipas angin di setiap rumah penduduk di negeri-negeri tropis. Terutama, di kota-kota yang panas dan padat penduduknya. Tapi, kipas angin yang satu ini memang lain daripada yang lain, justru karena benda hasil teknologi itu kebetulan ada hubungan emosional dengan kehidupan seorang pelukis.

          Pelukis kita ini tentulah bukan pelukis top yang mampu menghasilkan uang dalam jumlah besar dari hasil karyanya. Ia hanya pelukis biasa saja yang baru dikenal di seputar kotanya. Sungguhpun demikian, lukisan-lukisannya tidak jelek, malah tergolong sebagai karya-karya yang bermutu juga. Sekali waktu pada hari yang baik pelukis kita ini berhasil menjual sebuah lukisannya. Itu merupakan suatu peristiwa luar biasa. Bagi seorang pelukis seperti dia, menjual sebuah lukisan bukan pekerjaan mudah, tapi suatu usaha yang memerlukan ketabahan, keuletan, dan kerendahan hati yang mirip seorang pengemis.

          Ia baru menerima separo dari hasil penjualannya itu yang seluruhnya berjumlah Rp 20.000,00. Separonya lagi baru akan dibayarkan oleh pembelinya sebulan-dua kemudian. Itu pun biasa dalam suatu transaksi jual beli lukisan. Orang mau beli sebuah lukisan dengan dua atau tiga kali angsuran. Sebaliknya, alat-alat melukis seperti cat, kanvas, dan lain-lain tidak mungkin dapat dibeli dengan cara angsuran.

          Pelukis kita ini mulai berpikir-pikir mau diapakan uang Rp 10.000,00 yang baru diterimanya itu. Pikirannya agak kacau. Begini selalu dialaminya setiap kali ia menerima uang. Di rumahnya masih ada persediaan beras barang untuk satu minggu dan sedikit uang cukup untuk lauk pauk serta uang jajan anak-anaknya. Sebenarnya ia sudah lama ingin mempunyai sebuah kipas angin. Mengapa justru kipas angin? Ia sendiri tidak mengerti. Namun, keinginannya itu sudah sejak lama terpendam di hatinya.

          Bahkan berkali-kali ia pernah bermimpi duduk berbenah dekat sebuah kipas angin yang sedang berputar sambil mendoyong dan bergoyang-goyang ke kanan ke kiri. Alangkah sejuk terasa olehnya angin yang ditiupkan oleh kipas anginnya. Serasa ia sedang berada di sebuah taman di bawah langit lepas terbuka dan tidak lagi di rumahnya yang tengik dan apak.

          Akhirnya memang dibelinya juga sebuah kipas angin, meskipun bukan seperti yang diinginkannya, yang bisa doyong dan bergerak-gerak ke kanan ke kiri, karena uangnya tiada mencukupi. "Nah, kini aku pun bisa menguasai salah satu benda hasil teknologi," katanya dalam hati. "Aku akan menghidupkannya sewaktu-waktu aku memerlukannya dan akan mematikannya kembali setelah tidak kubutuhkan lagi." Tapi, sampai beberapa lama ia akan menguasai? Sekonyong-konyong tanya itu timbul di hati kecilnya.

          Setiap kali ia membeli suatu barang, entah itu seperangkat kursi sederhana, sebuah amben, bahkan barang-barang pecah-belah, tidak beberapa lama barang-barang itu menghilang kembali, seolah-olah barang-barang yang dibelinya itu tidak kerasan tinggal lama-lama di rumahnya. Alias terpaksa harus dilegonya kembali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Dan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak tiada henti-hentinya. Keadaan ini sudah berlangsung lama dan ia sekeluarga sudah jadi terbiasa. Mereka tidak terlalu gembira kalau ke rumah mereka datang sebuah barang baru, dan tidak pula kelewat bersedih kalau barang itu pergi meninggalkan mereka. Bahkan kipas angin ini pun akan mengalami nasib yang sama seperti barang-barang lain yang pernah dibelinya, sudah dapat dipastikannya.

          Pernah sekali ia membawa pula sebuah radio transistor bekas yang diterimanya sebagai penukaran dari sebuah lukisannya. Istri dan anak-anaknya tentu sama bergembira menyambut kedatangan barang itu. Kepada mereka ia berkata ketika itu seperti sering dikatakannya setiap kali ia membawa sesuatu yang baru kerumahnya.

          "Kalian tentu mengerti, bukan?" ia memulai fatwanya, "Karena, sudah terlalu sering kukatakan bahwa setiap benda di muka bumi ini adalah milik Tuhan Yang Maha Esa, dan benda-benda itu menghilang dari lingkunganmu, janganlah bersedih dan berkeluh-kesah. Nyawa yang menghidupkan kita ini pun hanyalah barang pinjaman belaka. Kalau sewaktu-waktu Tuhan memintanya kembali, maka akan melayanglah ia lepas dari badan kasar kita dan kita akan menjadi bangkai yang akan membusuk. Pendeknya tak ada satu pun yang kekal yang bisa kita miliki buat selama-lamanya."

          "Begitu pula radio ini, ya, pak?" sela salah seorang anaknya, "Ia akan terbang meninggalkan kita..."

           "Ya," katanya tegas. "Begitu pula radio ini. Kita harus merelakannya bila terpaksa melepaskannya kembali." Walau sebenarnya ia ingin sekali memiliki barang itu buat selama-lamanya. Tapi, disadarinya pula bahwa itu tidaklah mungkin, mengingat hidupnya selalu terombang-ambing bagai sebuah tongkang di tengah permainan ombak. Hidup seorang pelukis memang tidak menentu. Kadang begini kadang begitu.

          Diletakkannya kipas angin itu di atas meja dikitari oleh anak-anaknya serta istrinya yang sudah tak sabar ingin menyaksikan bagaimana benda itu akan berputar sambil bergoyang-goyang dan menghembuskan angin yang sejuk.

          Tiba-tiba pelukis kita ini teringat bahwa di rumahnya tidak ada aliran listrik. Sebentar ia kelabakan. Ya, bukankah rumahnya selalu remang-remang gelap karena lampu di rumahnya hanya lampu minyak tanah? Ia menghela napas, lalu ditatapnya wajah istrinya dan anak-anaknya satu demi satu...

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Lagu Papinka Terlengkap (Download Papinka Discography)