Kursi Antik
Perempuan yang datang menemuiku pada pagi-pagi dini hari itu langsung menyebutkan namaku, lalu bertanya, "Bapak yang suka kumpul-kumpul barang-barang antik?"
"Yoah...," sahutku sambil menguap panjang. Lalu katanya pula, "Aku punya sebuah kursi antik...."
Sejenak aku tertegun, tidak yakin tentang apa yang dikatakannya, lebih-lebih melihat keadaannya. Kuperhatikan perempuan itu hampir setengah menyelidik, dari ujung rambut sampai ke tumitnya.
Perawakannya kurus kerempeng, terbungkus dalam gaun usang yang kumal dan lusuh. Ia masih muda, barangkali belum lagi dua puluh tahun, tapi tampak serupa perempuan separo baya. Wajahnya pasi kepucat-pucatan dan kedua belah matanya yang sayu seolah-olah tersembunyi dalam luangan di atas pipinya yang cekung, sedang pada pelipisnya jelas tampak beberapa garis-garis derita yang tajam menggores. Kaki-kakinya yang kotor berdebu itu mengapit sepasang sandal jepit.
"Aku bermaksud menjual kursi itu, barangkali Bapak mau," katanya sedikit tersengal seraya mengais rambutnya yang kusut seolah-olah tak pernah disisir.
"Betul antik?" tanyaku ragu-ragu. "Aku sudah sering dibikin kecele, mulanya dibilang antik, tahu-tahu cuma tiruan...."
"Ini betul-betul antik, Pak," katanya meyakinkan, "peninggalan nenek moyang."
"Di mana barang itu sekarang?" tanyaku.
"Di rumah, di rumahku, tidak jauh dari sini, sebentar jalan kaki sampai. Mari kita berangkat sekarang," ajaknya.
Perempuan itu jalan duluan, aku menyusulnya di belakang. Bukan main cepatnya ia melangkah. Aku mengikuti setengah berlari-lari, hingga napasku mendesah-desah. Kami berjalan menyusuri gang-gang kecil dan sempit yang di kanan-kirinya berdiri berdesakan gubuk-gubuk terbuat dari bekas peti-peti sabun atau makanan dalam kaleng yang dipersambungkan begitu saja, mirip bekupon-bekupon (sangkar burung merpati).
Beberapa kali kami berpapasan dengan pengendara-pengendara becak yang mendorong becaknya, memaksa kami menempel rapat-rapat ke pinggir supaya tidak terlanggar olehnya.
Di depan sebuah gubuk setengah doyong yang beratapkan kaleng-kaleng karatan perempuan itu berhenti lalu menoleh kepadaku, kemudian serunya,
"Di sini, Pak, silakan masuk, maaf tidak sepertinya," ujarnya pula berbasa-basi.
Terpaksa aku harus membongkok ketika memasuki pintu gubuk yang pendek dan sempit itu. Aku tidak ingat lagi dari bahan apa pintu itu dibuat. Begitu berdiri dalam sebuah ruang yang sesungguhnya hanya sepetak tanah, bau apak yang amat menyengat menusuk hidungku.
Perubahan sekonyong-konyong dari kecerahan pagi yang memancar di luar beralih ke ruangan dalam gubuk yang suram dan muram itu membuatku hampir tak bisa melihat sesuatu sehingga pada mulanya tak sesuatu pun yang tampak. Semua kelihatan samar-samar. Tapi, sekejap kemudian mataku mulai jadi biasa dalam suasana kesuraman itu dan satu demi satu mulai bermunculan apa yang terdapat di dalam ruangan itu.
Ada segerombolan anak-anak kecil duduk berderet di salah satu sudut ruangan itu. Dua di antaranya gadis-gadis cilik dalam gaun kumal dan penuh tambalan, dan dua yang lain anak-anak laki-laki lebih kecil dalam keadaan bugil. Mereka berempat sedang asyik menyuwir-nyuwir beberapa lembar daun pisang, lalu suwiran-suwiran itu mereka masukkan ke dalam mulut-mulut mereka dan memamahnya serupa domba-domba kecil sedang memamah rumput. Suatu pemandangan yang bukan saja tidak enak, tapi sungguh menyayat perasaanku.
Selain itu, pada mulanya tak ada yang tampak jelas olehku. Di ruangan itu tak ada meja, tak ada kursi atau balai-balai, pendeknya, kosong-melompong, dan lantainya tanah yang lembap pula, karna tak ada sebuah lubang pun yang memasukkan sinar dari luar. Aku lantas jadi heran, gelisah, dan mulai curiga jangan-jangan perempuan itu hendak menipuku.
"Mana kursinya?" tanyaku kepada perempuan yang sejak tadi berdiri bungkam di sampingku.
"Itu Pak, yang di sudut itu," sahutnya seraya menunjuk ke satu arah, sudut lain yang juga gelap. Samar-samar tampak sebuah kursi goyang berukuran lumayan besar. Sekilas memang kelihatan serupa kursi antik, beberapa bagiannya berukir meski tidak begitu jelas terlihat. Tapi, yang lebih menarik perhatianku, ialah di kursi antik itu duduk seorang nenek-nenek tua renta sambil sekali-sekali menggoyang-goyang kursinya sehingga kepalanya terangguk-angguk. Begitu tua nenek itu, wajahnya yang kerut-merut itu menggumpal kecil serupa karet busa yang diremas-remas.
"Siapa dia?" tanyaku.
"Nenekku...," kata perempuan itu. Suaranya bimbang, "Ia buta, tuli, lumpuh lagi...."
"Dan anak-anak itu?"
"Mereka adalah anak-anakku, empat orang semuanya...."
"Mana suamimu, maksudku bapak mereka?"
Pertanyaan-pertanyaanku itu agaknya telah meresahkannya, tampak ia jadi kikuk dan kemalu-maluan.
"Oh, bapak mereka, suamiku...." ia tak mau menyelesaikan kalimatnya dan seperti sengaja akan mengalihkan pembicaraan, ia lalu cepat-cepat melangkah ke kursi neneknya dan berkata, "inilah kursinya. Betul-betul antik, bukan? Kursi ini peninggalan nenek moyang kami. Memang warnanya kelihatan agak kusam, tapi dengan sedikit pemeliharaan akan berubah indah seperti semula. Maklum, di sini kursi ini tidak terpelihara. Kabarnya dulu kursi ini digunakan sebagai tempat duduk bersemayam orang-orang berderajat tinggi...."
Tapi, semua yang dikatakan perempuan itu hampir tak masuk di telingaku. Pikiran, perasaan, dan pandanganku terpancang pada nenek tua yang sedang duduk ayem sambil bergoyang-goyang dengan senangnya di atas kursinya.
Ketika terpikir olehku, nasib nenek itu, ke mana ia akan dicampakkan kalau kursi itu tidak lagi berada di tempat ini. Bukankah ia buta, tuli, dan lumpuh pula? Dan tampaknya ia senang duduk di kursinya itu. Itulah maka kemudian kataku, "Tapi...."
Tiba-tiba perempuan itu cepat memotong, agaknya ia tahu apa yang sedang terpikir olehku, itulah maka ia berkata, "Nanti akan kubeli sehelai tikar pandan untuk tempat nenek bersantai...." Lalu tambahnya hampir mengeluh, "Kursi antik ini adalah milik kami yang terakhir. Semua telah habis terjual, digadaikan, atau dirombeng untuk makan. Terus terang kami butuh uang, terserah kepada Bapak berapa mau membelinya...."
Lama aku tercenung, seakan-akan hilang akal, tak tahu apa yang harus kukatakan. Pikiranku cepat-cepat berubah-ubah terombang-ambing antara keinginan memanfaatkan kesempitan-kesempitan keluarga yang malang itu dan sentuhan rasa kemanusiaan, terutama kepada nenek tua-renta itu. Alangkah sedihnya nenek itu kalau dipisahkan dari kursi kesayangannya itu.
"Tolong, Pak, belilah kursi ini," desak perempuan itu hampir terisak. Pandangan matanya yang berair kini terarah kepada anak-anaknya yang duduk menggerombol diam-diam di sudut ruangan itu yang masih terus memamah-mamah daun pisang.
"Begini saja, Neng," akhirnya kuputuskan setelah lama terdiam, "Aku tak sampai hati memaksa nenekmu itu meninggalkan kursinya."
"Jadi... jadi Bapak tak mau membelinya?" sela perempuan itu penuh kecewa.
"Yah," jawabku pasti. "Tapi, ini ada sedikit uang. Ambillah, barangkali bisa sedikit menolong...."
Lalu aku cepat-cepat melangkah meninggalkan ruangan yang menyesakkan itu. Di pintu, sebentar aku membalik dan berkata kepada perempuan itu yang masih berdiri keheranan, "Neng, jangan jual kursi antik itu, kasihan nenekmu..."
***
Komentar
Posting Komentar