Dusun Di Lembah Sunyi
Langit teduh kebiruan memayungi dusun kecil terpencil di lembah sunyi itu. Siang hari matahari bersinar cerah menembus celah-celah rimbun dedaunan dan di malam hari para penghuni dusun yang jarang itu senang terlelap dan terayun dalam mimpi-mimpi buah tomat yang menjadi ranum, tentang sarang lebah, dan udara berbau rumput. Demikian sejuk angin yang berhembus dari bukit-bukit yang mengelilingi dusun itu hingga di siang hari pun mereka sering bermimpi tentang hal-hal yang indah dan mengasyikkan. Malahan menjadi kebiasaan mereka menganggap impian sebagai pertanda yang menentukan dalam hidup ini. Mereka turun ke ladang berdasarkan impian. Pagi memancing atau mencari jodoh atau bahkan ada yang mengadu untung sebagai maling dan semua mereka lakukan berdasarkan impian.
Tetapi, tiba-tiba pada suatu saat menjelang ashar, dusun mungil itu seola-olah berubah menjadi kancah huru-hara. Meledak dalam gejolak hingar-bingar. Kegemparan menjalar laksana ular raksasa merayap melingkar-lingkar menyusup ke seantero pelosok. Penduduk menghambur keluar dari pondok-pondok mereka bagai kedelai tumpah dari karung-karung bocor kian-kemari. Gadis-gadis yang kebetulan sedang mandi di pancuran pada buyar terbirit-birit sebelum sempat mengenakan pakaian, membuat mata para perjaka pada melotot melahap bagian-bagian tubuh yang menyilaukan.
Apakah gerangan yang telah terjadi? Bencana alamkah? Ada banjir lagi? Serbuan garong-garong? Ada kebakaran barangkali? Mungkin ada pembunuhan, rajapati? Apa yang sebenarnya terjadi? Kok orang-orang pada ribut meruak-ruak resah serupa gagak menggerombol di sana-sini? Mereka menduga-duga, saling bertanya, berbisik-bisik, atau sekali-sekali menjerit dan berteriak-teriak lantang, bertanya satu sama lain. Tapi, tak seorang pun tahu jawabannya. Baru kemudian ada kabar samar-samar dari beberapa orang yang turun dari surau lepas sembahyang ashar.
“Ada garong, perampok,” kata mereka. “Eh, bukan, bukan garong, bukan perampok,” bantah mereka pula. “Cuma pencuri. Seorang pencuri.”
“Lho, kok ada pencuri di siang hari bolong begini? Apa yang dicurinya? Ah, pencuri juga bukan,” kata mereka lagi. Lantas apa? Pengutil. Cuma seorang pengutil yang menggait sepasang sandal bekas di serambi surau. Lalu semua orang pergi berbondong-bondong menuju surau untuk menyaksikan siapa si pengutil itu dan bagaimana tampangnya dan bentuk sandal yang telah digaitnya. Dan di sana kemudian mereka saksikan suatu pemandangan yang mengguncangkan perasaan dan tentu bakal membangkitkan perbantahan di antara mereka.
Segerombolan anak muda sedang kalap menggelagak bagai harimau-harimau haus darah beramai-ramai menghajar seorang pemuda tanggung berperawakan kurus-kerempeng. Mereka melabrak habis-habisan si pengutil yang sial itu, menghantam, menampar, menjotos, dan menendangnya seperti suatu kesebelasan sepak bola. Dan “bola” itu terpelanting kian kemari dan akhirnya menggelembung bengkak dan babak belur. Mukanya sembap, gigi-giginya pada rontok, dan di sekujur badannya darah berbencah-bencah.
Tapi, anak-anak muda yang makin menggila itu rupanya belum juga merasa puas meski mangsanya sudah terontang-anting setengah mati. Mereka terus menghardik disertai tamparan, membentak disusul jotosan diseling sepak dan terjangan. Pengutil itu sempoyongan terhuyung-huyung ke sana dan didorong ke sini, terhoyong lagi dihujam kembali. Dari mulutnya yang berlepotan darah terdengar rintihan beruntun, “Ampun, ampun, ampun...” seolah-olah hanya kata itu saja yang dikenalnya. Rintihan itu lama-lama bertambah lirih berubah menjadi semacam erang yang mengenas dan ia pun lalu terjerembap ke tanah, diam tak berkutik.
“Cukup! Cukup! Cukup!” seru seorang lelaki tua yang cepat-cepat tertatih-tatih menuruni jenjang surau seperti malaikat turun dari langit. Aneh, mendengar seruan itu “permainan sepak bola” itu segera terhenti. Semua mata kini memandang ke arah laki-laki tua yang datang menghampiri mereka.
“Siapa dia dan kenapa sampai jadi begini?” tanya laki-laki tua itu ketika menyaksikan tubuh yang tergeletak di tanah, “Coba lihat, anak ingusan ini sudah setengah mati. Kalian apakan dia? Kalian telah menghajarnya beramai-ramai, bukan? Adakah kalian mau membunuhnya?”
“Ia pencuri, eh pengutil, Pak...” sahut salah seorang anak muda. “Pencuri-pencuri tak boleh dikasihani, bukankah begitu?” Dan mereka yang setuju menyambutnya dengan teriakan-teriakan. Mereka yang tidak setuju cuma menggerutu, “Terlalu, terlalu, terlalu...”
“Apa yang telah dicurinya?” tanya laki-laki tua itu.
“Sepasang sandal bekas,” jawab anak muda di sebelahnya.
“Masa sandal bekas mesti ditebus dengan nyawa?”
“Tapi ia pencuri, Pak. Mungkin sandal itu punya Bapak yang terletak di serambi surau...”
“Aku tak punya sandal, tak pernah pakai sandal,” kata laki-laki tua itu jengkel. “Kalian memang keterlaluan, ah. Kalian tahu? Di kota-kota besar banyak garong, perampok, jambret, penodong, penipu, pemalsu. Bajingan-bajingan berkeliaran di mana-mana. Apa saja mereka curi, mereka rampoki, sampai pasar-pasar berlantai lima pun mereka curi...”
“Eh, bagaimana mereka mengangkut pasar-pasar itu?” tanya mereka keheranan.
“Oh, itu mudah saja bagi mereka. Mereka kan bajingan? Jadi, akal mereka juga akal bajingan, lain dari akal orang kebanyakan. Akal orang kebanyakan letaknya di hati, sedang akal bajingan biasanya bersarang di kepala-kepala...”
“Kami tak tahu, Pak. Yang kami ketahui ia adalah pencuri. Lalu kami sergap...”
“Lho, kalian hakimi sendiri seenaknya...” sambung laki-laki tua itu, “Mengapa tidak kalian serahkan kepada Kepala Desa?”
“Lho, masak Bapak tidak tahu? Kepala Desa kita kan sudah ditahan lantaran korusi?”
“Kepada Pak Carik?”
“Pak Carik malah sudah sejak lama minggat melarikan kas desa. Untuk membawanya ke kota juga repot. Tidak mungkin. Jadi...”
Mereka lalu terdiam, dan setelah lama terdiam salah seorang di antara mereka lalu menyarankan, “Bagaimana kalau kami serahkan saja pencuri ini kepada Bapak? Bapak kan sesepuh di dusun kita ini? Terserah kepada Bapak mau diapakan pencuri, eh pengutil ini...”
Seketika laki-laki tua itu tepekur. Kemudian ujarnya, “Baiklah, sekarang bubarlah kalian, tinggalkan tempat ini.”
Dan orang-orang menuruti perintahnya. Mereka pada bubar meninggalkan tempat itu seperti domba-domba jinak pulang ke kandangnya.
Laki-laki tua itu lalu mengangkat tubuh yang terkapar di tanah, memapahnya ke surau, dan di sana ia membasuh luka-luka di wajah pemuda tanggung yang malang itu dengan sapu tangannya yang kumal setelah sebelumnya dicelupkan ke dalam kulah air wudlu. Setelah pemuda itu sadar dari pingsannya dan agak mendingan keadaannya, lelaki tua itu berkata kepada si pemuda, “Aku tak bisa menghukummu, sebab aku sendiri juga tidak bersih daripada dosa. Biarlah Tuhan yang akan menghukummu. Sekarang bertobatlah, dan cepat-cepat tinggalkan dusun ini. Bawalah sandalku kalau kau mau. Jangan ulangi perbuatanmu yang bodoh ini. Engkau masih muda, pergunakanlah akal sehatmu. Yoh, enyahlah dari sini!”
Lama pemuda tanggung itu menatap laki-laki tua di hadapannya. Tak sepatah kata pun dapat diucapkannya. Setidak-tidaknya untuk menyatakan terima kasih atas belas kasih orang tua itu terhadap dirinya. Ia lalu bangkit sambil menggait sandal usang yang celaka itu, lalu diam-diam meninggalkan laki-laki tua yang baik hati, menyingkir jauh-jauh dari dusun mungil terpencil di lembah sunyi yang barangkali akan tetap dikenangnya selama hidupnya...
Komentar
Posting Komentar