Gizi
Ia baru saja lulus dari Fakultas Kedokteran, dan berhasil meraih gelar (kesarjanaan penuh sebagai) dokter. Jadi dokter tentulah merupakan idaman bagi hampir setiap orang muda sebayanya. Lebih-lebih di zaman ketika gelar-gelar kesarjanaan menjadi tujuan akhir dan puncak cita-cita dan seakan-akan menawarkan jaminan yang meyakinkan untuk menikmati kenyamanan-kenyamanan dalam hidup ini serta kemudahan-kemudahan dalam hampir segala hal bagi mereka yang memilikinya.
Terus terang, selain desakan kedua orang-tuanya yang ambisius, memang ada keinginannya yang sangat ke arah itu. Gelar dokter yang mentereng, duit dari hasil praktek yang lumayan, seorang istri yang cantik mulus, anak-anak yang mungil, mobil mewah, dan sebuah vila kencana, semua itu adalah daya tarik yang semula memang menggiringnya ke jurusan itu, jurusan yang memang paling laris pada perguruan-perguruan tinggi kita dewasa ini.
Tapi, sungguh tidak dinyana zaman romantika gelar-gelar kesarjanaan yang mentereng itu sudah berakhir. Persis sebuah impian yang badar dan buyar sebelum waktunya. Sekonyong-konyong terbentur pada kenyataan yang sama sekali lain, berupa suatu ketandusan yang menggugupkan meloncer-loncer membelit masa depannya. Kini ia jadi begitu gelisah dan kebingungan sehingga tak tau apa yang mesti dilakukanya. Untuk membuka praktek dibutuhkan tempat, perlengkapan yang semuanya bukan saja sulit diperoleh, tapi juga mahal. Mau berdinas pada rumah-rumah sakit pemerintah, entah mengapa, ia kurang berselera.
Jadi, selama beberapa waktu ia menganggur di rumah orang-tuanya. Bermalas-malasan sambil membaca-baca buku-buku cerita silat atau main catur kalau kebetulan ada kawan senasib yang datang menengoknya. Kelakuan itu benar-benar meresahkan kedua orang tuanya yang semula menaruh harapan segede kapal pada gelar kedokterannya. Kasihan orang tua yang malang itu, yang telah mengorbankan hampir segala-galanya semata-mata supaya putranya bisa menggondol gelar idam-idaman itu.
Untung juga waktu menganggur itu tiada berlarut-larut dan cepat berakhir. Salah satu lembaga sosial di kotanya membuka balai pengobatan dan telah menawarkan pekerjaan kepadanya, meskipun dengan syarat yang tidak begitu menggembirakan. Artinya, ia cuma akan mendapat uang saku saja yang diistilahkan sebagai uang transpor sebagai imbalan jasanya. Supaya jangan menganggur terus-menerus, pekerjaan itu diterimanya, walau dengan berat hati.
Untuk menghemat, terpaksa ia mesti berjalan kaki setiap hari kurang lebih tiga km dari rumah ke balai pengobatan itu yang letaknya di bagian kota yang paling miskin penduduknya. Sebenarnya apa yang disebut balai pengobatan itu hanya sebuah garasi mobil yang malah tidak mengalami perubahan-perubahan sedikit pun supaya sekurang-kurangnya tampak sebuah poliklinik. Perabotan dan perlengkapannya pun amat sederhana pula. Lembaga pendiri balai pengobatan itu rupanya demikian melarat hingga tidak mampu menyediakan sebuah kursi yang layak untuk tempat duduk seorang dokter. Satu-satunya kursi di tempat itu adalah sarang kepinding yang sebenarnya.
Lagi pula lembaga sosial itu kiranya juga adalah suatu lembaga yang mempunyai tujuan sosial yang murni dan tidak tanggung-tanggung pula, dan sengaja menyediakan balai pengobatannya bagi mereka yang tidak mampu. Karena, setiap orang yang datang kesitu sama sekali tidak dipungut bayaran. Karena para pengunjung poliklinik itu terutama terdiri dari golongan tidak mampu maka sebagai akibatnya uang saku yang diterimanya sebagai imbalan betul-betul bukan hanya sekedar basa-basi atau suatu kiasan sebagai disangkanya semula. Uang saku atau uang rokok itu benar-benar uang pembeli rokok, bahkan dari jenis murahan, dan ini menyebabkan ia pada akhirnya tak sampai hati untuk menerimanya.
Kadang-kadang ia jadi amat murung dan menyesali nasibnya telah memilih dokter sebagai kariernya. Mengapa dulu tidak dipilihnya jurusan hukum atau teknik? Kawan-kawan seangkatannya yang telah bergelar insinyur, sesudah mereka membangun satu-dua jembatan atau menangani suatu proyek pembangunan, tiba-tiba jadi kaya raya.
Hari ini, seperti juga pada hari-hari sebelumnya, ia duduk di kamar prakteknya menghadapi sebuah meja, setelah terlebih dulu melapisi kursinya dengan selembar koran yang sengaja dibawanya dari rumah untuk menghindari serangan-serangan kepinding. Sambil membanting-banting kartu-kartu bridge ia menantikan kalau-kalau ada pasien yang datang. Pada akhir-akhir ini jumlah pasien yang datang tidak begitu banyak, meski mereka akan memperoleh pemeriksaan dan pengobatan gratis. Sering ia berpikir, apakah kurangnya pasien itu disebabkan oleh sikapnya yang serba ogah-ogahan terhadap mereka atau memang di daerah ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa pergi ke poliklinik sama artinya dengan menyediakan diri untuk dijadikan kelinci percobaan oleh dokter-dokter muda yang baru lulus.
Kembali ia teringat kepada kawan-kawan insinyurnya yang tentu lebih beruntung dari keadannya, yang cuma menghadapi skala-skala bangunan jembatan akan menghasilkan kekayaan yang bukan sendiri ke kantong mereka. Jauh berbeda dengan seorang dokter seperti dia yang setiap hari terpaksa mesti berhadapan dengan para penderita 1001 macam penyakit yang dijangkitkan dan ditularkan oleh berbagai jenis kuman dan wabah yang berbahaya dengan komplikasi-komplikasinya yng tiada terduga-duga.
Dilema-dilema mengepungnya, dan seperti cengkeraman setan mencekiknya. Tidak jarang ia dibuat kehilangan akal. Banyak problem yang dihadapinya tak pernah dapat dipecahkan oleh diagnosa-diagnosa, dan stetoskopnya kerap kali jadi bisu dan tuli. Betapa ia takkan jadi habis akal bila pada suatu ketika berdiri mengap-mengap di hadapannya seorang langganannya, tukang becak dengan paru-paru rapuh dan keropos bagaikan kerupuk, tapi kemudian diketahuinya kembali pula menggenjot becaknya setelah mendapat sekadar pengobatan.
Berikut ini adalah dialog yang sungguh-sungguh pernah berlangsung antara dia dan salah seorang pasiennya yang lain, seorang laki-laki berperawakan kurus dan loyo seperti seekor burung yang teraniaya:
"Nama?"
"Yatno."
"Umur?"
"Entah Pak, tapi sejak zaman Belanda dulu saya sudah kerja..."
"Pekerjaan?"
"Sopir, sopir truk borongan."
"Sakit?"
"Batuk..."
"Batuk? Cuma batuk saja? Keluar darah?"
(Ragu-ragu) "Kira-kira sudah satu tahun..."
"Satu tahun?" (Sejenak ditatapnya wajah cekung yang pucat kehijauan itu seketika lamanya) "Mengapa baru sekarang berobat?"
(Kemalu-maluan) "Tak ada waktu, Pak..."
"Ha?"
"Habis saban hari kerja, Pak. Maklum sopir borongan, sehari mangkir bayaran dipotong."
Ia terdiam sesaat, tercenung, dan segera setelah memeriksa si rangka itu dengan stetoskopnya, katanya "kau akan kusuntik dan kuberi resep."
"Resep? Berapa harganya?"
"Hemm, kira-kira lima ribu rupiah..."
"Uh, lima ribu? Yang murahan saja, Pak..."
Lalu tambahnya pula sambil menulis resep, "Dan kau perlu istirahat, sekurang-kurangnya selama dua bulan tidak boleh meninggalkan tempat tidur."
Mendengar itu tiba-tiba si rangka menyeringai seolah-olah ia digelitik oleh lelucon, kedua belah matanya cepat berkedip-kedip, tapi semua itu tak dihiraukannya, lalu sambungnya, "Dan kau harus banyak makan makanan yang mengandung vitamin, makanan-makanan bergizi, seperti sayur mayur, buah-buahan, telur, daging, susu, dan mentega..."
"Apa? Telur? Susu? Daging dan mentega?!" seru si rangka terkejut, "Oh jangan dikata telur, daging, susu, dan mentega, kalau ada tahu sama tempe goreng dihidangkan di rumah kami, itu sudah lebih dari mendingan. Oh, Pak Dokter yang baik hati, maaf, Pak, sungguh-sungguh maaf, Pak. Maaf kalau nasihat-nasihat Pak Dokter yang bagus-bagus itu tak dapat kami ikuti. Maaf, Pak Dokter."
Lalu, serupa digerakkan oleh pegas yang tersembunyi si rangka pun cepat berpaling dan melangkah pergi meninggalkan kamar praktek itu.
"He! He! Tunggu, ini bawalah resepmu!" serunya memanggil si rangka. Tapi, si rangka tak menggubris seruannya, terus nyelonong dan menghilang di balik pintu. Si rangka agaknya tak mau kembali mengambil resepnya, dan memang ia tak kembali, tidak pada waktu itu, tidak pula pada keesokan harinya, dan tidak untuk selama-lamanya.
Si rangka tidak mau mendengar cerita-cerita yang bagus-bagus tentang gizi, tentang telur, daging, buah-buahan, susu, dan mentega. Semua benda-benda yang terlampau mewah baginya, yang tak pernah diangan-angankannya, tak pernah menyinggahi ruang hidupnya.
Kartu bridge terakhir dibantingnya di atas meja: Plak! Lalu ia pun bangkit pula, membenahi tas plastiknya, kemudian melangkah ke pintu dan terus menuruni jenjang balai pengobatan itu.
Di hatinya sudah pasti, ia takkan kembali lagi menginjakkan sebelah kaki ke kamar praktek yang penuh mengandung kemurungan itu. Tidak, ia takkan kembali ke kamar praktek yang tiada berbelas kasih padanya itu. Akan dicarinya sekarang ruang yang lebih luas, terbuka, dan berudara segar dan jernih, dan untuk sementara itu ditemukannya di pekarangan belakang rumah.
Keesokan harinya seharian penuh ia duduk di pekarangan belakang rumahnya sambil menghadapi segelas kopi kental, sepiring kacang goreng dan sebuah majalah hiburan ringan. Baginya itu jauh lebih menyenangkan daripada mereka-reka banyolan tentang apa yang disebut gizi...
***
Komentar
Posting Komentar